Kelancangan ini datang dan terbentuk dari obrolan kita yang mengikat. Menyambung panjang sampai malam tidak boleh istirahat. Lihat saja riwayat pesan kita yang sudah ada, berpencar tak pernah jelas arahnya.
Dan justru itu. Justru yang kuberi tanda sebagai awal mula adalah titik itu. Titik saat kita menjadi akrab tanpa pertemuan. Dekat seperti sudah lama berteman.
Aku tidak pernah ingin bertaruh tentang kejujuran. Tapi, tiap malam—setelah hari-hari itu—isi kepala cuma tentang sampai mana kiranya kita? Sampai mana teman-temanku akan bosan dengan namamu? Sampai kapan menunggu acara senyum-senyum sendiri ini menjadi tawa-tawa lucu?
Kalau dulu pernah pada pagi-pagi-bangun-tidurmu kamu bertanya, bagiku kamu berarti apa, seharusnya kita bertemu saat itu juga. Akan kujawab sampai kamu tak punya pertanyaan lagi selain soal perasaanku.
Lihat, sekarang, kita cuma berakhir dengan tanda tanya. Lihat. Sekarang, mimpiku pupus seperti cuma terbangun dari sebuah mimpi.
Lalu bagaimana akan kuhapus kamu setelah aku menulis ini?
Bagaimana dengan pola tidurku yang masih ingat percakapan-percakapan tengah malam kita?
Bagaimana dengan pertemuan pertama?
Bagaimana selanjutnya aku?
Apa kubilang, kita memang seharusnya bersama.