Bagimu, diam adalah luka. Diam membawamu kembali pada cerita-cerita lama yang akhirnya tidak mampu kau selesaikan dengan baik. Diam menyadarkanmu pada genggaman-genggaman yang kini telah asing. Diam membuat air matamu tidak mudah berhenti jatuh. Diam menjadikanmu seseorang yang beda, yang kehilangan tawa dan cintanya. Akhirnya diam memberi tahumu apa itu memulai, berjalan, dan selesai.
Bagimu, menulis
adalah luka. Menulis adalah teriakanmu yang tak pernah bisa kau suarakan. Menulis
adalah sakit yang paling dalam, karena seseorang selalu ada dalam tulisanmu. Menulis
adalah satu-satunya cara membuatnya abadi. Menulis tidak pernah memabukkan
karena darinya kamu mengerti, cinta yang lebih mahir melakukannya pada dirimu.
Bagimu, melepaskan
adalah luka. Pertentangan selalu terjadi antara hati dan pikiranmu. Melepaskan begitu
sulit ketika ingatan tentang perjuangannya mendapatkanmu dulu selalu terputar
jelas sebelum air matamu. Kamu sulit merelakan karena bersamanya kamu diajarkan
cara untuk selalu bertahan. Bersamanya kamu diajarkan untuk mencintai dan
menerima, bukan merelakan dan melepaskan.
Bagimu, segala
tentangnya adalah luka. Senyumnya menyakitkan karena kamu bukan lagi alasan
untuknya. Senyummu bukan lagi yang memberikan dia warna. Tatapannya juga luka,
karena di matanya, bayangan itu bukan lagi kamu. Kamu bukan lagi yang dia
puja-puja. Dia bukan lagi yang memberikanmu bahu, dia adalah pencipta lukamu
yang baru.
Segala hal di dunia
kecuali dia, adalah omong kosong. Melupakannya bukan tidak mungkin. Mencari penggantinya
adalah kemungkinan lain yang mungkin terjadi. Ini semua hanya soal waktu, dan
bagian.
Waktumu telah
selesai, kini dia harus mencari bahagianya dari sosok yang lain.
Bagianmu sudah cukup,
kini kamu tak harus membahagiakannya karena dia pun tidak akan melakukannya
padamu.
Berbahagialah,
karena bahagia bukan hanya dia yang bisa menciptakan.