aku melihat awan di mana-mana. sebentar ditiup angin, sebentar menangis di atas kita. seperti biasa, embun pukul lima pagi yang memulai semuanya. rintik halus di tumpukan kayu sebelah rumah, menetes pelan-pelan seperti berirama. pagi ini, tulisanku belum rampung. tulisan tentang bagaimana selama ini kita saling beruntung. bantalku pun belum kutata lagi. masih kacau ledakan tangis semalam tadi.
pagi ini tenang sekali, padahal sebelum membuka mata, aku seperti hampir hilang diri.
ponselku masih mati. aku akhirnya membisukan obrolan kita. terakhir kulihat ada 197 pesan. cukup banyak, dan normal. seperti dua sejoli yang sedang tidak keruan.
semua tuduhan kamu yang sempat kubaca, makian dan ego kamu yang besar wujudnya, biar bergerak pelan-pelan sebagaimana dingin pukul lima pagi menjadi belai pukul delapan. aku tahu amarahmu cuma sementara. sesal karena gagal yang mungkin akan selamanya memenjara.
tapi mungkin juga tidak.
entahlah. aku tidak terlalu mengenalmu lagi.
mungkin malah dari awal memang tidak pernah tahu kamu siapa.
hari ini sepertinya akan banyak yang tanya tentang kedua mataku. kamu tahu mereka mudah sembap meski pertengkaran kita kecil. orang akan mulai bertanya apa kita masih baik-baik saja. kamu boleh jawab sekenanya, tapi aku mungkin akan membiarkan mereka sendiri dengan tebakannya.
air tetesan di ujung genting sampai saat ini masih jatuh sama rasanya. air di ujung mata pun sama. beberapa kali aku menadah mereka jatuh, aku tak ingin lupa hari ini hari saat mata dan tanganku sedang basah-basahnya.
tulisan tentangmu mungkin tidak akan kulanjutkan. biar saja tertinggal rumpang. kita tidak punya janji lain yang harus ditengok kembali. tempat-tempat yang telah kita catat itu biar orang lain saja yang mengunjungi.
kamu mulailah terbiasa terbangun pukul lima pagi tanpa aku yang berisik.
beranilah sendirian.
lusa mungkin akan cerah. awan-awan itu mungkin akan cari langit lain.
kamu mungkin akan jadi lebih bahagia.