Ada seorang gadis kecil bertanya padaku, “Sejak kapan kakak
suka menulis?” kemudian aku menjawabnya dengan seseorang ada dalam pikiranku
saat itu, “Sejak aku tau perempuan sulit mengungkapkan”. Sejak aku tau
perempuan tidak bisa memulai duluan, sejak aku tau perempuan hanya bisa
menciptakan penantian. Maka aku hanya boleh menulis. Karena aku tau, tidak semua perasaan dan cerita harus disuarakan, ada
bagian-bagian yang hanya bisa dituliskan.
Kemudian dia bertanya lagi padaku, “Siapa orang yang
menginspirasi kakak dalam menulis?”. Aku menjawab bahwa ada orang yang berbeda
di setiap cerita yang kuberi judul berbeda. Tapi untuk yang terakhir, aku
menulisnya karena seseorang yang saat ini sedang berada di tempat dengan jarak ratusan
kilometer dari rumah. Aku mulai berani menyematkan namanya sejak pertama kali
aku dibuatnya terpesona. Bulan Desember tahun lalu, 2015. Saat pertama kami
bertemu, saat pertama dia benar-benar tersenyum untukku, kaos merah dan parfum
yang otomatis terekam di memori sebagai pengingat bau. Aku pikir jika sewaktu-waktu
aku berada di keramaian, kemudian kucium bau yang sama persis seperti bulan
itu, boleh jadi kami berada di tempat yang sama, boleh jadi kami dipertemukan,
boleh jadi kami berjodoh. Kemungkinan baik didoakan saja, aamiin.
Ada satu lagi gadis kecil, dia pernah bertanya soal seperti
apa laki-laki idaman itu. Pertanyaan ini butuh waktu lumayan lama untuk
menjawabnya, hingga kemudian kujawab dengan mantap, “Laki-laki yang dunia dan
akhiratnya seimbang”. Hatiku sontak bergetar membacanya. Memangnya ada laki-laki yang seperti
itu? Kalaupun ada, memangnya kamu
merasa kamu sudah cukup pantas untuknya? Memangnya dunia dan akhiratmu sudah
seimbang? Jodohmu adalah cerminmu, ‘kan? Ya, ya, ya, kembali lagi ke
paragraf awal, perempuan hanya bisa menunggu, tapi di paragraf ini, perempuan
hanya bisa menunggu, dan memperbaiki kualitas diri. Menjadi seimbang adalah
usaha yang sulit, kalau tidak mau bertekad. Belum tentu juga
ibadahnya diterima. Tapi, laki-laki yang berusaha untuk menyeimbangkan keduanya
itu yang menjadi idaman perempuan. Bukan yang setiap jumat siang selalu tulis
status “Berangkat masjid biar ganteng”. Sesungguhnya ketampanan laki-laki bukan
dinilai dari apa yang membuatnya tampan, tapi siapa yang melihatnya menjadi
tampan. Pahami.
Gadis itu bertanya lagi, “Apa suka duka kakak dalam
mencintai sendirian?”. Saat aku membaca ini, aku tiba-tiba saja berkata Heeeey ayolah kamu masih kecil, sudah berani bicara soal mencintai sendirian? Sudah pernah jatuh dan lututmu luka? Dulu, seumur kamu, aku cuman tau soal itu, bukan mencintai
sendirian, manis. Tapi bukan itu jawabanku. Aku menjawab pertanyaanya
seperti ini, “Aku bisa menghabiskan semua senyumnya, tapi dia tak pernah tau
itu”. Terbaca? Mana sukanya mana dukanya? Karena jatuh cinta itu satu paket. Kalau
tidak mau jatuh dalam mencinta, tidak usah lah pasang-pasang poster soal
Mencintai Sendirian dimana-mana. Karena memang kebanyakan, sesuatu awalnya harus
buruk agar baiknya terlihat sempurna. Langit awalnya harus mendung agar pelangi
terlihat sempurna. Wajah awalnya harus menangis agar senyuman terlihat
sempurna. Maka mencintai awalnya harus rela sendirian, agar berdua terasa
sempurna. Betul?
Nawang Nidlo Titisari. 6 Mei 2016. 00.15 WIB