Hi my eyes, long time no cry...
Ini adalah hari Selasa, 13 September 2016. Aku meneteskan beberapa air mata lewat pipiku, jatuh ke dagu. Ini adalah kali ke sekian sejak pertama kali aku menangis karnamu. Karna kedekatan kita yang semakin dekat. Karna perasaan kita yang semakin jelas. Karna kebahagiaan yang seharusnya ada; pudar. Ini tulisanku yang ke sekian, masih tentang kamu, masih dengan dugaan yang sama dan kesimpulan yang sama.
Masih hanya aku yang berjuang, masih hanya aku yang tersiksa rindu, masih aku yang memulai, masih aku yang membahagiakan diriku. Semuanya masih sama, seperti saat pertama kita bertemu.
Jalan berdua, berdampingan, dengan kedua tangan jatuh dan melambai bebas di sisi kiri dan kanan, membuat sebelah tangan kita saling bersentuhan. Tapi hanya aku yang tersenyum, yang berharap kau memegang tanganku agar selanjutnya tak berbentur lagi; hanya aku.
Memimpikanmu beberapa kali, dengan atau tanpa memikirkan kamu sebelum tidur, aku selalu menafsirkan mimpi itu menjadi kenyataan yang membahagiakan. Selalu hanya aku, karna kamu, tidak pernah mengingat apapun yang terjadi pada mimpimu bersamaku. Lantas aku? "Berada di mimpimu saja sudah bagus, apalagi kau doakan itu menjadi pertanda baik dari Tuhanmu, untuk kamu, dan aku. Kita."
Aku menulis ini dengan bantal basah di bawah daguku. Mengingat semua yang selama ini kulakukan, selalu berasal dariku sendiri. Mencari-cari alasan yang logis dan tidak memalukan hanya untuk bertemu denganmu, menulis sesuatu tentangmu dengan harapan semua kata demi kata akan kamu baca dan kamu maknai sendiri artinya. Merindukanmu sampai gila, mencandui pertemuan-pertemuan yang manis setiap detiknya. Menolak semua pria yang mendekat, membuat sebuah jarak dengan mereka hanya agar kamu tidak akan punya alasan untuk marah denganku. Pernah terpikir tidak? Bahwa akan ada seorang perempuan yang begitu menyayangimu seperti orang bodoh? Kalau kamu bilang tidak dan belum pernah menemuinya, berarti aku benar, ini semua hanya aku yang merasakan. Selama ini hanya aku yang banyak bergerak, aku selalu menarikmu berlari, sekalipun kamu tidak pernah mengajakku berjalan. Aku selalu mencoba membuatmu tertawa, sekalipun kamu tidak pernah tersenyum untuk itu.
Tapi kamu tak perlu khawatir, aku mensyukuri perkenalan kita, aku merasa aku telah punya segalanya. Aku telah mengalami segalanya. Meski itu hanya sendiri, setidaknya aku tidak lupa dengan rasanya.
Terima kasih untuk tidak pernah menjauh meski kamu juga tidak pernah mendekat. Terima kasih untuk tidak pergi saat aku datang. Terima kasih untuk tetap bahagia disana, sekalipun tidak bersamaku, setidaknya kamu punya alasan lain untuk bersyukur, sehebat aku mensyukuri kamu hadir di hari-hariku. Terima kasih telah menjadi duniaku, meski kamu tidak pernah berkata bersedia atas itu.
Sesulit apapun kamu, aku pasti akan memenangkanmu.
-Nawang Nidlo Titisari
Ini adalah hari Selasa, 13 September 2016. Aku meneteskan beberapa air mata lewat pipiku, jatuh ke dagu. Ini adalah kali ke sekian sejak pertama kali aku menangis karnamu. Karna kedekatan kita yang semakin dekat. Karna perasaan kita yang semakin jelas. Karna kebahagiaan yang seharusnya ada; pudar. Ini tulisanku yang ke sekian, masih tentang kamu, masih dengan dugaan yang sama dan kesimpulan yang sama.
Masih hanya aku yang berjuang, masih hanya aku yang tersiksa rindu, masih aku yang memulai, masih aku yang membahagiakan diriku. Semuanya masih sama, seperti saat pertama kita bertemu.
Jalan berdua, berdampingan, dengan kedua tangan jatuh dan melambai bebas di sisi kiri dan kanan, membuat sebelah tangan kita saling bersentuhan. Tapi hanya aku yang tersenyum, yang berharap kau memegang tanganku agar selanjutnya tak berbentur lagi; hanya aku.
Memimpikanmu beberapa kali, dengan atau tanpa memikirkan kamu sebelum tidur, aku selalu menafsirkan mimpi itu menjadi kenyataan yang membahagiakan. Selalu hanya aku, karna kamu, tidak pernah mengingat apapun yang terjadi pada mimpimu bersamaku. Lantas aku? "Berada di mimpimu saja sudah bagus, apalagi kau doakan itu menjadi pertanda baik dari Tuhanmu, untuk kamu, dan aku. Kita."
Aku menulis ini dengan bantal basah di bawah daguku. Mengingat semua yang selama ini kulakukan, selalu berasal dariku sendiri. Mencari-cari alasan yang logis dan tidak memalukan hanya untuk bertemu denganmu, menulis sesuatu tentangmu dengan harapan semua kata demi kata akan kamu baca dan kamu maknai sendiri artinya. Merindukanmu sampai gila, mencandui pertemuan-pertemuan yang manis setiap detiknya. Menolak semua pria yang mendekat, membuat sebuah jarak dengan mereka hanya agar kamu tidak akan punya alasan untuk marah denganku. Pernah terpikir tidak? Bahwa akan ada seorang perempuan yang begitu menyayangimu seperti orang bodoh? Kalau kamu bilang tidak dan belum pernah menemuinya, berarti aku benar, ini semua hanya aku yang merasakan. Selama ini hanya aku yang banyak bergerak, aku selalu menarikmu berlari, sekalipun kamu tidak pernah mengajakku berjalan. Aku selalu mencoba membuatmu tertawa, sekalipun kamu tidak pernah tersenyum untuk itu.
Tapi kamu tak perlu khawatir, aku mensyukuri perkenalan kita, aku merasa aku telah punya segalanya. Aku telah mengalami segalanya. Meski itu hanya sendiri, setidaknya aku tidak lupa dengan rasanya.
Terima kasih untuk tidak pernah menjauh meski kamu juga tidak pernah mendekat. Terima kasih untuk tidak pergi saat aku datang. Terima kasih untuk tetap bahagia disana, sekalipun tidak bersamaku, setidaknya kamu punya alasan lain untuk bersyukur, sehebat aku mensyukuri kamu hadir di hari-hariku. Terima kasih telah menjadi duniaku, meski kamu tidak pernah berkata bersedia atas itu.
Sesulit apapun kamu, aku pasti akan memenangkanmu.
-Nawang Nidlo Titisari