“Aku merindukanmu.”
“:)”, balasan yang terlalu singkat, untuk keinginan bertemu
yang terlalu kuat.
Saat itu pukul 03.37 sore di Mataram. Fala menatap profile picture milik seorang laki-laki
yang saat ini sedang amat ia cintai. Matanya berkaca-kaca.
Hubungan yang tidak terikat status,
menjadikan mereka merasa seperti punya batas, bahkan dalam hal menyayangi. Ditambah,
bentangan jarak 700 km yang kini memberatkan mereka untuk bertemu meski mereka
mau. Belum lagi libur perkuliahan yang tak sama, biaya berangkat dan pulang, restu orang tua, dan
masih banyak lagi yang berani menahan kaki mereka untuk membayar
lunas janji-janji pertemuan. Minggu depan, genap sudah 24 bulan penantian Fala untuk
kedatangan Fajar yang selalu ia singgung setiap malam.
“Jar ...”, Fala mengirim pesan lagi, dua jam setelah pesan
berisi simbol senyuman diterima.
“Iya?”
“Kamu kenapa? Ada masalah apa?”. Saat ini yang Fala rasakan
hanya kumpulan rasa cemas yang mengabuti kepalanya. Tumben, Jar?
Tak ada balasan dari Fajar. Yang ada hanya tanda kalau pesan
itu sudah diterima, dan dibaca.
Solo-Mataram sudah bukan hanya soal beda kota, ini sudah
tentang beda pulau, beda pembagian waktu. Fajar harus menyeberang pulau Bali
untuk sampai di pulau Lombok—pulau yang dulu bagi Fajar hanya berisi dua hal; Kota
Mataram, dan Fala.
Tapi, sejak kecelakaan pesawat telah merenggut nyawa ayah
angkatnya lima bulan lalu, Fajar tak mau lagi menaiki pesawat terbang untuk beberapa
tahun ke depan. Sejak saat itu, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Dulu, saat mereka berdua masih di bangku SMA, mereka bisa bertemu seminggu sekali, sekarang, hampir dua tahun, mereka
belum juga bertemu. Dulu, setiap hari mereka bertukar kabar, sekarang, mendapat kabar seminggu sekali saja sudah untung.
Empat tahun bagi Fala bukanlah waktu yang sebentar untuk
menjalani sebuah hubungan. Fajar adalah orang pertama yang akhirnya membuat
Fala berani untuk jatuh cinta. Empat tahun, Fala diajarkan bagaimana menyatukan
hatinya dengan hati lain yang mencintainya, bagaimana menerima perbedaan isi kepala
dua orang yang disandingkan, bagaimana cara menutupi kekurangan dan menerima
bahwa tak ada satu manusia pun yang terlahir sempurna. Kelas 2 SMA, Fala tak
percaya Fajar akan bisa menembus hatinya. Tapi siapa kira ternyata Fajar
membuat Fala kini tak bisa lepas darinya.
Setelah empat tahun berlalu baik-baik saja, saat ini, bulan Maret 2016, Fajar tiba-tiba mulai menjadi seseorang yang lain dan beda. Fala
mulai mengeruhkan isi otaknya sendiri, mengotori ketulusan-ketulusannya dengan
deretan prasangka. Seharian yang ia pikirkan hanya, apa yang telah ia lakukan
hingga Fajar berubah drastis menjadi dingin seperti tadi. Padahal sebelumnya,
sesibuk dan semarah apapun Fajar, tak pernah Fala menerima pesan sesingkat
simbol titik dua dan kurung tutup. Paling singkat, ya ... “Iya, Sayang.”
Jangan menjadi rumit,
Jar, tolong.
Di luar lamunannya tentang Fajar, Fala masihlah seorang
mahasiswi semester IV yang punya banyak tugas dan tanggung jawab. Ia membawa
tiga kewajiban dan tanggung jawab yang besar di dua pundaknya yang lemah. Menjadi
bendahara umum di UKM Kesenian, menjadi pianis di band fakultasnya, satu yang terakhir, menjadi koordinator kelas.
Kesibukan di perkuliahan menjadikan Fala seringkali lupa menanyakan kabar
Fajar, bagaimana hari-harinya, bagaimana organisasinya, Fala lupa, kalau masih
ada seseorang yang harus ia jaga hati dan perasaannya.
Mana tahu Fala kalau ternyata tiga tugas baru itu,
menjadikannya semakin jauh dari Fajar. Dari yang raganya hanya berjarak 700 km,
kini hatinya juga berjarak—ribuan kilometer. Mana tahu Fala kalau ternyata
tanya kabar akan menjadi sepenting itu dalam sebuah hubungan. Apalagi untuk mereka-mereka
yang cintanya berjarak.
Saat dua orang sudah terlalu
sulit untuk bertemu, apalagi yang tetap menguatkan kalau bukan komunikasi yang
baik?
“La.”
Fala tahu, Fajar pasti punya sesuatu yang harus
didiskusikan. Fala juga merasa kalau saat ini mereka sedang berada pada situasi
yang paling rumit, selama empat tahun mereka berhubungan, selama dua tahun
mereka jauh dari gapaian. Ayo selesaikan
ini, Sayang.
“Telepon aja, Jar.”
Fajar langsung menelepon Fala.
“Halo, La”, suara Fajar terdengar tidak terlalu semangat.
Tidak seperti telepon-telepon yang lalu. Saat yang mereka bicarakan seluruhnya
tentang rindu, dan rindu.
“Halo. Ada apa?”
“La, aku tahu kamu pasti mengerti sekarang aku sedang
merasakan apa. Akhir-akhir ini aku merindukanmu dengan sangat, tapi telepon dan
pesanku kamu abaikan berminggu-minggu. La, aku rindu. Aku rindu tapi kamu tak
ada di situ.”
Hati Fala tersayat. Ia tak tahu kalau Fajar
ternyata diam-diam kesakitan, karena rindu-rindu itu harus ia habiskan
sendirian. Walau sebenarnya Fala juga rindu, ia tak tahu kalau kesibukannya—yang
justru ia lakukan untuk mengalihkan kerinduannya pada Fajar—malah membuat Fajar
patah.
“Maaf, aku salah. Bulan ini sedang banyak acara di kampus. Ponselku hanya kupakai untuk urusan
acara. Aku juga rindu, tapi mau bagaimana lagi? Fajar, dua tahun aku menunggu
kamu datang. Waktu itu kau bilang bersedia mendatangiku meski kita harus kuliah
di beda Universitas, kau bilang kau mau melunasi rindu-rindumu, tapi mana?
Sampai saat ini aku tunggu kamu, yang aku terima masih hanya ratusan pesan
berisi rindu. Jar, rinduku juga sama hebatnya dengan milikmu. Tapi kalau tak
ada usaha apa pun untuk bertemu, jutaan pesan berisi rindu akan menjadi seperti
menulis surat cinta dengan pena tanpa tinta. Sia-sia, Jar. Sia-sia.”
Mereka, saling menyalahkan.
Fala menangis.
Hati Fajar semakin terluka. Karena saat ia mendengar wanitanya
menangis, ia tak ada di sana untuk menenangkannya.
“La ... “
“Jar, bukan hanya kamu, aku juga terluka. Dua tahun aku
terkurung dalam ketakutan. Aku takut kau berpaling. Aku takut kau tak setia.
Aku takut janji-janjimu akan berakhir menjadi dusta. Jar, aku mencintaimu, tapi
kalau kita menjauh karena ego kita sendiri, lebih baik, kita berhenti.”
“Kita belum memulai apa pun, La. Apa yang mau kau sudahi?”
“Untuk hatiku yang terus-menerus khawatir, untuk hatimu yang
ingin terus ditemani, mari kita jadikan saja jarak 700 km ini sebagai
sebenar-benarnya jarak, antara kita. Aku tahu kau pasti benci mendengarku
menangis. Aku pun benci harus terus menanti. Kalau kita berhenti di sini, tak kan
ada lagi tangisan yang kau dengar. Tak kan ada lagi janji-janji yang harus
kutagih. Kita bebaskan saja diri kita sendiri. Seperti dulu, saat kita belum
saling mengenal dan jatuh hati. Aku masih akan terus mencintaimu. Percayalah,
aku masih akan selalu mencintaimu. Terima kasih telah menjadi cinta pertama
yang indah. Kalau suatu saat kita diizinkan untuk bertemu, aku berjanji akan
memelukmu erat. Aku berjanji, akan mencintaimu dengan perasaan yang lebih kuat.
Tapi kalau ternyata kita tak diizinkan untuk bertemu lagi, hingga salah satu
antara kita menemukan hati yang lain lalu mulai mencintai, biar sudah seperti
ini. Jangan lagi bilang rindu. Aku takut akan nekat menemuimu. Maaf, Jar. Aku harus
membicarakan ini lewat telepon. Selamat malam.”
Fala mematikan teleponnya. Lalu menangis, sejadi-jadinya.
Malam itu, adalah malam paling menyakitkan untuk Fala. Karena
harus melepaskan saat sedang cinta-cintanya. Saat ia harus menyerah tanpa tahu
mengapa ia melakukannya. Seketika ia benci pada dirinya sendiri. Karena ia
harus memilih untuk selesai, daripada mencari jalan keluar. Ia benci, karena ia
menjadi pecundang atas perasaannya sendiri.
Dua bulan berlalu...
Malam hari, 26 Mei 2016, Fala di atas panggung bersama
teman-temannya. Mereka membawakan lagu terakhir, lagu ciptaan Fala.
“Lagu ini, ciptaan Nona Fala, yang cintanya terpaksa selesai,
sebelum dimulai”, ucap vokalis band
itu.
Telah
tersemat sebuah nama
Jauh
melekat di dalam jiwa
Dulu
semuanya sempurna
Sebelum
semesta, memisahkan kita
Kini
habislah sudah
Dongeng
kita yang dulu indah
Selesai
sebelum dimulai
Berlalu
sebelum bertemu
Tak
ada tangan untuk menggenggam
Tak
ada kaki untuk berlari
Bahkan
saat matahari sudah tenggelam
Aku
belum bisa melepas pagi
Bahkan
saat bayanganmu sudah menghilang
Aku
masih saja terus mencari
Setelah lagu terakhir selesai
dimainkan, semuanya bertepuk tangan. Lalu, tiba-tiba ... seseorang di belakang penonton berdiri dan bertepuk tangan. “Dia
wanitaku!”, teriaknya. Semua mata penonton sontak melihat ke arahnya. “Pianis
itu, sang pencipta lagu, dia wanitaku!”.
Fala terkejut dengan apa yang sedang
ia lihat saat itu. Ia berdiri tercengang. Menunggu bayangan pemilik suara tadi mendekat dan menampakkan wajahnya. Meski sebenarnya ia sudah tahu, kalau suara itu milik Fajar,
laki-laki yang dua tahun dia tunggu untuk datang. Yang kini sedang berdiri di depan panggung menatap Fala. Yang lalu merentangkan kedua tangannya. Menyiapkan dadanya sebagai sebenar-benarnya tempat untuk Fala mengadu.
Fajar tersenyum. Fala berlari turun dari panggung. Ia menangis menuju pelukan Fajar. Dipeluknya erat laki-laki yang masih sangat ia cintai itu.
Fajar tersenyum. Fala berlari turun dari panggung. Ia menangis menuju pelukan Fajar. Dipeluknya erat laki-laki yang masih sangat ia cintai itu.
“Kembalilah padaku”, Fajar berbisik di pelukan Fala.
Fala menangis.
Fajar melepaskan pelukannya. Memandangi
wajah Fala yang dua tahun terakhir hanya bisa ia lihat dari layar ponselnya.
“La, aku minta, mulai sekarang, kamu
hanya boleh menangis kalau ada aku. Kalau tak ada aku, jangan. Mau, kan? Memulai
semuanya dari awal dengan ikatan baru? La ... mau, ya? Menjadi yang paling kucari
saat aku kalut, menjadi satu-satunya tujuan saat aku pergi, dan satu-satunya rumah tempatku pulang. Aku mencintaimu, semua boleh kau katakan,
asal bukan tentang perpisahan.”
Fala tersenyum, laki-laki itu terdengar begitu mencintainya. Karena kedatangan dan pengakuannya, kini Fala tahu bahwa—ia harus
membenarkan apa yang salah, membenahi apa yang kacau, bukan memotong ikatan dengan satu ucapan “selamat malam” di ujung telepon.
Fala memeluknya sekali lagi.
Fala memeluknya sekali lagi.
***
Seluruh
pasang mata iri sekali pada saat itu menyaksikan kami.
Saat
ini, aku sedang menunggu Fajar keluar dari gedung. Hari ini dia wisuda! Tentu
saja, aku sedang bersama orang tua dan adik-adiknya. Kami sudah berjanji, akan
terus bertahan bersama. Menerima dan menyelesaikan seluruh tugas yang telah disiapkan semesta. Ya, mungkin hingga nanti, hingga anak cucu kami menceritakan
kembali kisah-kisah ini untuk kami berdua.
Semoga Fajar selalu dalam lindungan-Nya. Selalu datang menghangatkan seperti namanya. Beruntung sekali aku, mencintai dan dicintai orang yang sama.
Solo, 26 Mei 2018
dengan kasih sayang Fajar dalam genggamannya,
dengan kasih sayang Fajar dalam genggamannya,
Rafala Amikadea.