Ada satu hal yang tertinggal di belakang keberanian kamu untuk bertahan. Adalah kamu.
Rasa keingintahuanmu tentang ujung dari satu perjalanan yang sudah lama patah.
Rasa percaya dirimu yang terlalu tinggi karena menganggap dia mungkin akan sedikit berubah.
Kelantangan doa-doamu yang menaikkan kerah, bertuju pada seseorang yang kamu pikir memang untukmu. Yang kamu pikir mungkin hatinya tidak benar-benar sekokoh batu. Yang mungkin menuntutmu untuk terus bergerak sendiri sekeras itu. Yang membuatmu menjadi tidak ke mana-mana. Dari dulu.
Kamu dibuat seolah lupa bahwa kamu cuma perlu satu luka. Untuk berhenti dan tidak lagi meminta, tidak lagi memaksa.
Kamu dibuat seolah buta bahwa selama ini dadamu cuma terisi penolakannya. Kamu tetap menyebutnya sesuatu yang sulit. Berada jauh di atasmu, dan harus ditarik.
Kamu selalu meyakini diri, bahwa yang mencekik akan melunak dengan ketulusan hati.
Maka kalau seperti itu makna indah untukmu, Sayang, tidak ada lagi cinta yang baik esok hari. Tidak ada kamu di masa depan karena kamu selalu memilih tinggal di hari ini. Hari yang sama dengan tahun-tahun lalu—melekat dengan duri yang kamu pilih sebagai penggantinya. Menjalani realita yang penuh kiasan dan membuatmu terlena.
Dan semua itu cuma berangkat dari satu langkah salah: Kamu suka dengan rasa sakitnya.