Bukan Saatnya
Di hari kesekian setelah aku mulai kehabisan makna, kamu mendekat dengan hati penuh doa.
Aku seperti dahaga di gurun pasir ternama, kamu melangkah dengan tatapan sedalam samudera.
Hadirmu membuatku teralih, dari kekandasan jalinan yang mencekik mati secara perlahan. Akhirnya, bukan hanya sebuah dalih, aku terlepas dari kenyataan-kenyataan yang bergerak menyudutkan.
Dia berhasil membuangku jauh. Kemudi telah hilang kendali dan menjadikanku tak ingin berlabuh. Kemudian kamu datang menjanjikanku ribuan alasan untuk berbahagia. Kamu memang laki-laki yang tak boleh berakhir sia-sia.
Tapi, rasanya tak pantas memaksa diri untuk kembali berdua hanya agar dia tahu bahwa aku sanggup tanpa hadirnya. Rasanya tak pantas menjadikanmu seorang "pengganti", bahkan ketika memang seperti kamulah yang sejak kemarin kunanti-nanti.
Aku ingin menemuimu sebagai seseorang yang benar-benar harus kutemui, bukan untuk menutupi luka-luka yang seharusnya menjadi urusanku sendiri.
Aku selalu siap untuk kembali jatuh cinta. Tapi, bukan ini saatnya. Bukan ketika aku baru saja diasingkan dari lingkaran kejujuran yang ternyata maya. Bukan ketika tiba-tiba mataku menangkap keberadaanmu sebagai pereda badai di kepala.
Aku tak lelah percaya dengan laki-laki. Bahkan saat seluruh kalimatnya hanyalah bualan yang memperkeruh hati. Aku hanya mulai merasa lelah dengan fase-fase "kasmaran lalu kehilangan". Bosan dengan urutan yang sejak dulu tak pernah ada perubahan.
Ini bukan sebuah penolakan, aku tak pernah menganggapmu datang dengan segenggam permintaan. Terserah padamu mau bagaimana, di sini menemani, atau pergi mencari perempuan lain yang bisa membalas perasaanmu dengan senyata-nyatanya janji.
Pada akhirnya, jawabanku nanti hanya satu:
"berkomitmen, atau tidak sama sekali".
Psst! Tulisan ini berpasangan. Baca di sini.
4 komentar
Auto nangis mbak
ReplyDelete(:
ReplyDelete💙
ReplyDeleteKaryanya bagus banget
ReplyDelete