“Aku rasa kita udah terpapar cukup banyak soal kehidupan pernikahan. Paling nggak, kita bisa lihat dan rasakan dari yang paling dekat gambarannya, ya. Pernikahan orang tua kita masing-masing.”
“Tapi pernikahan orang tuaku gagal.”
“Dan kamu tentu nggak mau pernikahanmu nanti gagal juga, kan? Aku tau kamu pasti langsung pasang tanda batas. Biar kamu punya standar calon suami dan pernikahanmu sendiri.”
“Memang. Aku memang punya standar untuk calon suamiku nanti. Aku nggak mau gagal, walau pada kenyataannya memang nggak ada pernikahan yang mudah.”
“Sama. Aku juga. Keluargaku mungkin terlihat sangat harmonis, kamu bisa liat pas kemarin ketemu keluargaku, tapi bukan berarti mereka nggak punya jalan yang berat. Aku tau orang tuaku menyembunyikan banyak hal. Mereka cuma menampakkan hal-hal yang baik dan manis. Karena memang menurut aku harusnya begitu.”
“Orang lain nggak perlu tau hubungan mereka seberat apa, ya?”
“Iya. Dan itu yang aku pegang dari dulu. Orang tuaku banyak ngasih contoh tentang pernikahan sebagaimana mestinya, sebagai ibadah, bukan cuma sebagai simbol telah dipasangkan Tuhan. Aku jadi banyak menyerap ilmu baik, tanpa sadar. Akhirnya, standarku pun cukup tinggi untuk calon istriku nanti.”
“Paham. Meskipun aku nggak relate dengan keluarga harmonis karena dulu bapak ibuku selalu ribut di depanku, aku paham ekspektasi kamu.”
“Ekspektasi kita, tuh, kurang lebih sama, meskipun berangkat dari cerita yang beda. Standar kita sama-sama di situ tingginya. Dengan nggak merasa ragu setelah semua obrolan ini, pun, aku tau itu juga jadi tanda. Kalau aku bisa ngobrol sampai tua sama kamu.”
“He he. Pernikahan kan isinya ngobrol, ya?”
“Iya.”
“Kamu seyakin apa sama aku?”
“Seyakin aku bisa ngelamar kamu sekarang juga.”
“Hah? Nggak, dong???”
“Aku bisa. Aku udah cukup memperhatikan betul-betul aku sama kamu gimana, dari awal kita kenal. Aku, tuh, bahkan debat sama kamu pun aku nggak khawatir. Kamu tau maksudmu apa, kamu berani bilang dengan nggak ragu, tanpa bikin aku merasa kecil.”
“Oiya? Aku nggak sadar. Ha ha ha. Aku nggak terlalu perhatian sama hal-hal kecil. Yang penting, untuk aku, laki-laki itu adalah laki-laki yang penyayang, yang bicara dan perilakunya santun. Itu aja dulu.”
“Kriteria kamu cukup dua hal?”
“Ya, tentu yang pinter cari uang juga. Ha ha ha.”
“Itu aku juga percaya diri. Ha ha ha. Makanya aku bilang aku bisa ngelamar kamu sekarang juga.”
“Tapi kita belum diskusi soal semuanya?”
“Itu, kan, bisa sambil berjalan. Daftar penting yang aku siapkan sebelum menikah, udah kamu lengkapi semua. Aku tinggal tunggu kamu bilang iya.”