Sebelum Kata Kelak

January 15, 2019


Apa itu rasa syahdu saat bersandar di pundakmu? Bagaimana rasanya kauusap kepalaku saat tengah kaudekap dengan lenganmu? Sehangat apa rasanya mendekatkan wajahku pada wajahmu? Akan sedahsyat apa jantungku pada saat itu?

Bagaimana rasanya menjadi dia?
Yang selalu kaujadikan urutan pertama tanpa dia pinta. Yang matanya selalu kaugambarkan seluas sebuah dunia. Yang ceritanya selalu ada di urutan paling kiri. Yang ketika dia angkat kaki, kamu tak pernah ingin beranjak pergi untuk berhenti menanti.

Seperti apa rasanya menjadi dia?
Tak perlu menghilang sudah kaucari. Tertawa sedikit kau jatuh hati. Tak pernah berdarah-darah tapi selalu kauhargai. Anggun menawan di mata lelaki. Baik dan tak pernah merasa dijauhi. Seperti apa rasanya menjadi dia, yang sangat amat ingin kaumiliki?

Harus sesempurna apa menjadi seorang wanita? Haruskah aku belajar menjadi dirinya hanya agar aku tahu bagaimana rasanya kaucinta?
Aku yang berlari, dia yang juara. Aku yang belajar, dia yang menerima piala. Mengapa aku merasa telah berkorban tapi dia tak pernah menjadi terdakwa?
Ini tak adil tapi aku tak bisa membela. Aku seperti gagal merasa jatuh cinta. Alih-alih dicinta, aku malah jatuh celaka sedalam-dalamnya.

Mengapa sebuah kisah harus setragis mengejar yang sedang mengejar?
Membuat semua ini terasa melelahkan dan ingin segera sampai pada kata “kelak”.
Kelak, ceritaku pasti lebih indah dari hanya menikmati getirnya kalah telak.         

  • Share:

You Might Also Like

15 komentar