Sebuah ruang menjadi dua, dipisahkan kaca, yang nyata.
Kamu, ada di sana, dengan sejuta rasa penuh tanda tanya.
Tanpa pernah mempersiapkan dan mempersilakan, kamu tiba-tiba memberi makna.
Aku—perempuan tak tahu malu—percaya, kita akan dijadikan pasangan oleh dunia.
Bahkan tak takut berjanji untuk menjadikanmu satu-satunya.
Karena kamu datang ke hadapanku dengan perasaan paling kuat dari siapa pun.
Mendebarkan dada lebih raya dari kapan pun.
Tapi, kenyataannya, kita adalah kesalahan yang paling berani. Mencelakai
diri untuk bisa saling mencintai.
Barangkali, perasaan kita adalah apa yang tak terasa di
dalam nadi. Tak peduli walau akhirnya kita akan mati karena pilihan kita
sendiri.
Masa depan denganmu yang seharusnya kupeluk, menjadi sebatas
bayangan samar-samar di ufuk.
Kita yang selalu ingin mendekat, terus-menerus
kehabisan cara mengalahkan sekat.
Aku mencintaimu, dan kau pun begitu.
Tapi tak peduli sekuat apa ingin menyatu, kita tetap hanya
sebatas aku dan kamu.
Saling melihat, tapi terhambat.
Seperti ini mungkin rasanya mencintai tapi tak ada perkenan untuk
memiliki.
Karena meski aku yang menang dalam lomba, tetaplah dia yang jadi
juara.
Meski aku yang berjuang mati-matian di dalam kaca, tetaplah
dia yang hidup dalam sebuah kisah cinta.
Pada akhirnya, kita hanya sebatas “saling cinta” yang tak
bisa berdua.
Pada akhirnya, hatimu—sekali lagi—tak bisa kuminta untuk
selamanya ada.
Karena kamu datang dengan hati yang ingin tapi tak ingin.
Karena, kamu datang padaku sebagai milik orang lain.