Pintu satu ditutup, pintu lain akan terbuka.
Kita kenal setelah aku lagi-lagi patah hati. Kamu datang, dengan manis, dan hangat. Awalnya aku takut akan gagal lagi, tapi ternyata kita sudah melewati dua kali ulang tahunmu, dua kali ulang tahunku, dua kali tahun baru. Oke, dua itu memang bukan angka yang besar, tapi ini yang terlama bagiku, asal kamu tahu. Memalukan, bukan? Aku tidak pernah bertahan selama ini dengan berbagai macam laki-laki, karena aku perempuan yang cepat sekali bosan, mudah sekali jenuh. Tapi mudah sekali jatuh cinta.
Dengan kamu...
Aku juga pernah sesekali merasa bosan, tapi, anehnya aku selalu berhasil mengalahkannya. Aku selalu berhasil untuk tidak pernah ingin mengakhiri pertemanan kita.
***
Dulu...
November 2015...
“Dia bentar lagi ulang taun, aku kasih kado gak ya enaknya?”
“Terserah, kasih gak papa, nggak juga gak masalah, kan kalian baru kenal bulan kemarin.”
“Tapi asik kayanya kalo nanti aku kasih kado ini jadi alasan buat aku ketemu sama dia.”
“Yaudah kasih.”
“Emoh. Gak jadi. Baru kenal. Takut tiba-tiba ditinggal. Hahaha.”
“Hahaha.”
Dua minggu, empat minggu, “Oke mungkin dia belum siap ketemu aku.”
Aku sudah nyaman dengan obrolan kita setiap hari dari pagi hingga malam.
Karena kamu yang tidak segera mengajakku bertemu, aku sempat berpikir ini cinta sepihak.
“Lagi?”
Tweet-tweet @nanidlot sebelum ketemu doi
“Apa arti rasa khawatir saat kamu memang sengaja menghilang”
“Apa arti pengharapanku yang sedemikian banyak untuk dirimu yang apatis”
“Hidupku terlalu banyak berharap atau hidupmu yang penuh pengabaian?”
“Aku yang salah, karena jatuh cintaku terlalu mudah”
“Mungkin pengorbananku terlalu awal, atau mungkin pengabaianmu yang terlalu kasar”
Sampai akhirnya...
Desember 2015
Minggu.
“Selamat ulang tahun, blablabla...”
“Makasih, semoga doanya kembali pada yang mendoakan.”
“Gak olahraga? Car free day nih.”
“Gak. Gak ada yang ngajak.”
“Olahraga yuk di alun-alun.”
“Boleh, yuk.”
“Kamu aku jemput atau gimana?
“Boleeh.”
“Atau bawa motor sendiri ke sana?”
“Nggg...”
“Yaudah aku jemput ajadeh, Gang xxx kan? Sebelah mananya rumah xxx?”
“Selatan, depan masjid. Nanti aku tunggu depan aja.”
“Oke.”
Akhirnya kita bertemu, untuk pertama kali, tepat di ulang tahunku. Kaos merah, tinggi sekali, kamu. Wangi sekali, kamu, pada saat itu.
Semakin hari, aku semakin berharap padamu. Semakin khawatir pula, takut jika kamu akan menjauhiku karena pertemuan kita. Takut jika tiba-tiba kamu mulai pergi mencari perempuan lain karena aku bukan tipe yang kamu cari.
Tweet-tweet @nanidlot pas lagi ngarep-ngarepnya
“mudah-mudahan Tuhan hadirkan kamu di mimpiku, sebagai petunjuk, sebagai jawaban, untuk pengharapan yang semakin malam semakin dalam”
“Pantas atau tidak aku untukmu, apa kata nanti, karena semuanya akan tetap berjalan terlepas dari ada atau tidaknya balasan untuk sebuah pengharapan”
Terbaca? Seberapa berharapnya aku pada orang baru?
***
Sampai setelah pertemuan kita, aku mulai memberanikan diri untuk memutuskan ini adalah rindu. Obrolan kita di dunia nyata ternyata lebih manis dari sekedar chatting sehari penuh. Lalu aku pikir aku mulai menginginkannya lagi. Aku ingin jantungku berdegup tak beraturan lagi. Aku ingin tiba-tiba salah bicara, salah tingkah, dan menunduk tersenyum menyembunyikan muka seperti orang gila lagi, tapi aku khawatir kamu tidak.
Kemudian rindu itu, menjadi
Tweet-tweet @nanidlot kalo lagi kangen
“Aku kadang kangen. Kadang kangen banget.”
“Terkutuklah rindu yang selalu datang tak kenal waktu”
Sampai disini, jangan dulu salahkan aku, karena aku tidak salah, hatiku yang salah. Hatiku yang bersikeras menginginkanmu. Aku hanya menuruti apa kata hatiku karena kebahagiaanku berasal dari sana. Salah siapa, membahagiakanku? :))))
***
Empat bulan kita kenal, bulan Februari, aku menceritakan semuanya kepada seseorang.
“Belum ditembak? Empat bulan? Jangan-jangan dia gak cuman deketin kamu.”
“Jangan gitu dong, aku udah terlanjur suka sama dia”
“Tunggu aja. Wiiih lama juga ya”
“Aku mikir positif ajasih mungkin emang dianya gak mau pacaran atau gimana. Tapi masa iya temen doang dibaperinnya parah banget”
“Iya sementara gitu aja dulu, yang penting kan bahagia”
Kemudian, ini
Tweet-tweet @nanidlot ketika dia mulai gapapa gak dikasih kejelasan
“Sekarang pertanyaannya bukan lagi kapan kita jadian, tapi, gimana caranya bikin kamu terusan nyaman”
“Senyummu menciptakan candu, membuat bibirku fasih mendoakan kamu”
Karena hubungan kita tak kamu beri perkembangan, aku mencoba menceritakannya pada Tuhan, meski Dia telah tahu apa yang kemarin, sekarang, dan akan terjadi pada aku dan kamu.
Aku mulai berterimakasih karena kamu ada, karena Dia mengenalkan kamu denganku, karena Dia mungkin punya sesuatu yang besar untuk ini.
Kemudian aku meminta tolong pada-Nya. Untuk memantaskanku, menjadi perempuan milikmu.
Kemudian aku bernegoisasi dengan-Nya. Jika kamu benar untukku, tak apa sekarang berteman, semua memang berawal dari teman. Jika tidak untukku, atau aku yang kurang pantas untukmu, aku meminta seseorang yang lebih baik dariku untukmu, seseorang yang lebih baik pula darimu untukku.
Hampir setiap hari aku memintamu pada Tuhan. Atau jika itu tidak bisa dirimu, mungkin seseorang yang mirip denganmu. Atau seseorang yang lebih baik darimu. Atau siapa saja yang pantas untukku.
Aku suka saat kamu bisa menghargai, saat kamu tahu posisi dan situasi. Saat kamu bisa menempatkan diri dan emosi dengan baik. Saat aku benar-benar kaubuat terkesan. Karena saat itu aku tau, ketika kamu menghargaiku, kamu tidak akan menyakitiku sekalipun kamu tidak cinta, padaku. Sehingga aku pun hanya perlu menjadi diriku sendiri, tidak perlu topeng ini-itu untuk mengesankanmu. Sejak saat itu, sejauh apapun aku pergi, sejauh apapun aku main, sejauh apapun aku, di sampingmu, adalah pulang dari segala rindu. Terimakasih.
***
“Jadi perempuan yang besar hatinya, biar ndak gampang sakit hati.” – ibuk
Semakin lama kita berteman, semakin banyak yang aku tahu tentang dirimu. Pahit manisnya sudah kuhabiskan sendiri. Tentang siapa-siapa yang pernah mengisi hatimu, siapa yang menemanimu di depan kelas, tersenyum di depan kamera, terlihat bahagia. “Aduh, cantik banget sih mantannya. Putih, suaranya bagus. Lah aku?”. Seketika aku kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku harus menyakiti hatiku dengan membanding-bandingkan dua orang yang masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Kenapa aku harus sakit melihat foto lamanya ketika itu memang benar-benar foto lama. “Yaudah, toh sekarang dia udah sama aku. Kalopun mereka berdua masih saling sayang, harusnya waktu itu dia gak bbm aku, harusnya dia balikan sama mantannya. Yakan?”
Aku selalu marah dan meredakannya sendiri dengan hatiku. Aku percaya kamu adalah laki-laki yang baik, kamu akan berpikir dua kali untuk menyakitiku karena aku adalah perempuan, dan kamu juga terlahir dari seorang perempuan.
Aku tidak akan menciptakan sebuah drama. Aku tidak akan membahas ini terlalu berlebihan denganmu. Aku tidak ingin sakit hati, aku juga tidak ingin kamu mengingatnya saat aku membahasnya. Maka kuputuskan untuk menikmati kecemburuanku ini sendiri.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu...
Ketika kalian berdua masih asik bercanda berdua di Path. Ketika seseorang berkata padaku ada Whatsapp darinya di hpmu.
Aku menangis untuk beberapa menit. Kemudian aku kembali melawan sakitku. “Bukan mereka yang salah, mereka pernah saling membahagiakan, dia punya cerita sendiri dengan mantannya sebelum kenal aku. Ngapain aku marah? Toh mereka cuman saling ngejaga silaturahmi. Aku yang salah. Karena aku yang berpersepsi mantan adalah akhir dari segalanya. Gak ada lagi saling sapa. Gak ada lagi kontak yang disimpan. Lepas, benar-benar melepaskan. Hubungan mereka ini cuman pemandangan baru buat aku.”
Oke. Selama itu bukan diniatkan untuk menyakitiku. Selama itu untuk kebaikanmu. Aku tidak akan berlebihan dalam membela hatiku. Selama kalian hanya berteman, aku tak apa-apa. Karena aku dan kamu juga hanya berteman. Aku pun akan menjaga hatimu sebisaku. Karena berada di posisi ini sangat melelahkan. Jadi silahkan berbuat apapun sesukamu, kamu yang tahu untuk siapa hatimu itu. Kamu yang tahu kemana kamu harus pulang dari mainmu.
Ternyata benar, bukan? Kamu tidak pernah kembali dengannya. Dia yang selalu aku khawatirkan akan selalu membuatmu gagal berpindah padaku, tidak pernah kembali ke kehidupanmu.
Aku, sudah tahu hatiku untuk siapa. Semoga kamu pun begitu.
(...)
Kita kenal setelah aku lagi-lagi patah hati. Kamu datang, dengan manis, dan hangat. Awalnya aku takut akan gagal lagi, tapi ternyata kita sudah melewati dua kali ulang tahunmu, dua kali ulang tahunku, dua kali tahun baru. Oke, dua itu memang bukan angka yang besar, tapi ini yang terlama bagiku, asal kamu tahu. Memalukan, bukan? Aku tidak pernah bertahan selama ini dengan berbagai macam laki-laki, karena aku perempuan yang cepat sekali bosan, mudah sekali jenuh. Tapi mudah sekali jatuh cinta.
Dengan kamu...
Aku juga pernah sesekali merasa bosan, tapi, anehnya aku selalu berhasil mengalahkannya. Aku selalu berhasil untuk tidak pernah ingin mengakhiri pertemanan kita.
***
Dulu...
November 2015...
“Dia bentar lagi ulang taun, aku kasih kado gak ya enaknya?”
“Terserah, kasih gak papa, nggak juga gak masalah, kan kalian baru kenal bulan kemarin.”
“Tapi asik kayanya kalo nanti aku kasih kado ini jadi alasan buat aku ketemu sama dia.”
“Yaudah kasih.”
“Emoh. Gak jadi. Baru kenal. Takut tiba-tiba ditinggal. Hahaha.”
“Hahaha.”
Dua minggu, empat minggu, “Oke mungkin dia belum siap ketemu aku.”
Aku sudah nyaman dengan obrolan kita setiap hari dari pagi hingga malam.
Karena kamu yang tidak segera mengajakku bertemu, aku sempat berpikir ini cinta sepihak.
“Lagi?”
Tweet-tweet @nanidlot sebelum ketemu doi
“Apa arti rasa khawatir saat kamu memang sengaja menghilang”
“Apa arti pengharapanku yang sedemikian banyak untuk dirimu yang apatis”
“Hidupku terlalu banyak berharap atau hidupmu yang penuh pengabaian?”
“Aku yang salah, karena jatuh cintaku terlalu mudah”
“Mungkin pengorbananku terlalu awal, atau mungkin pengabaianmu yang terlalu kasar”
Sampai akhirnya...
Desember 2015
Minggu.
“Selamat ulang tahun, blablabla...”
“Makasih, semoga doanya kembali pada yang mendoakan.”
“Gak olahraga? Car free day nih.”
“Gak. Gak ada yang ngajak.”
“Olahraga yuk di alun-alun.”
“Boleh, yuk.”
“Kamu aku jemput atau gimana?
“Boleeh.”
“Atau bawa motor sendiri ke sana?”
“Nggg...”
“Yaudah aku jemput ajadeh, Gang xxx kan? Sebelah mananya rumah xxx?”
“Selatan, depan masjid. Nanti aku tunggu depan aja.”
“Oke.”
Akhirnya kita bertemu, untuk pertama kali, tepat di ulang tahunku. Kaos merah, tinggi sekali, kamu. Wangi sekali, kamu, pada saat itu.
Semakin hari, aku semakin berharap padamu. Semakin khawatir pula, takut jika kamu akan menjauhiku karena pertemuan kita. Takut jika tiba-tiba kamu mulai pergi mencari perempuan lain karena aku bukan tipe yang kamu cari.
Tweet-tweet @nanidlot pas lagi ngarep-ngarepnya
“mudah-mudahan Tuhan hadirkan kamu di mimpiku, sebagai petunjuk, sebagai jawaban, untuk pengharapan yang semakin malam semakin dalam”
“Pantas atau tidak aku untukmu, apa kata nanti, karena semuanya akan tetap berjalan terlepas dari ada atau tidaknya balasan untuk sebuah pengharapan”
Terbaca? Seberapa berharapnya aku pada orang baru?
***
Sampai setelah pertemuan kita, aku mulai memberanikan diri untuk memutuskan ini adalah rindu. Obrolan kita di dunia nyata ternyata lebih manis dari sekedar chatting sehari penuh. Lalu aku pikir aku mulai menginginkannya lagi. Aku ingin jantungku berdegup tak beraturan lagi. Aku ingin tiba-tiba salah bicara, salah tingkah, dan menunduk tersenyum menyembunyikan muka seperti orang gila lagi, tapi aku khawatir kamu tidak.
Kemudian rindu itu, menjadi
Tweet-tweet @nanidlot kalo lagi kangen
“Aku kadang kangen. Kadang kangen banget.”
“Terkutuklah rindu yang selalu datang tak kenal waktu”
Sampai disini, jangan dulu salahkan aku, karena aku tidak salah, hatiku yang salah. Hatiku yang bersikeras menginginkanmu. Aku hanya menuruti apa kata hatiku karena kebahagiaanku berasal dari sana. Salah siapa, membahagiakanku? :))))
***
Empat bulan kita kenal, bulan Februari, aku menceritakan semuanya kepada seseorang.
“Belum ditembak? Empat bulan? Jangan-jangan dia gak cuman deketin kamu.”
“Jangan gitu dong, aku udah terlanjur suka sama dia”
“Tunggu aja. Wiiih lama juga ya”
“Aku mikir positif ajasih mungkin emang dianya gak mau pacaran atau gimana. Tapi masa iya temen doang dibaperinnya parah banget”
“Iya sementara gitu aja dulu, yang penting kan bahagia”
Kemudian, ini
Tweet-tweet @nanidlot ketika dia mulai gapapa gak dikasih kejelasan
“Sekarang pertanyaannya bukan lagi kapan kita jadian, tapi, gimana caranya bikin kamu terusan nyaman”
“Senyummu menciptakan candu, membuat bibirku fasih mendoakan kamu”
Karena hubungan kita tak kamu beri perkembangan, aku mencoba menceritakannya pada Tuhan, meski Dia telah tahu apa yang kemarin, sekarang, dan akan terjadi pada aku dan kamu.
Aku mulai berterimakasih karena kamu ada, karena Dia mengenalkan kamu denganku, karena Dia mungkin punya sesuatu yang besar untuk ini.
Kemudian aku meminta tolong pada-Nya. Untuk memantaskanku, menjadi perempuan milikmu.
Kemudian aku bernegoisasi dengan-Nya. Jika kamu benar untukku, tak apa sekarang berteman, semua memang berawal dari teman. Jika tidak untukku, atau aku yang kurang pantas untukmu, aku meminta seseorang yang lebih baik dariku untukmu, seseorang yang lebih baik pula darimu untukku.
Hampir setiap hari aku memintamu pada Tuhan. Atau jika itu tidak bisa dirimu, mungkin seseorang yang mirip denganmu. Atau seseorang yang lebih baik darimu. Atau siapa saja yang pantas untukku.
Aku suka saat kamu bisa menghargai, saat kamu tahu posisi dan situasi. Saat kamu bisa menempatkan diri dan emosi dengan baik. Saat aku benar-benar kaubuat terkesan. Karena saat itu aku tau, ketika kamu menghargaiku, kamu tidak akan menyakitiku sekalipun kamu tidak cinta, padaku. Sehingga aku pun hanya perlu menjadi diriku sendiri, tidak perlu topeng ini-itu untuk mengesankanmu. Sejak saat itu, sejauh apapun aku pergi, sejauh apapun aku main, sejauh apapun aku, di sampingmu, adalah pulang dari segala rindu. Terimakasih.
***
“Jadi perempuan yang besar hatinya, biar ndak gampang sakit hati.” – ibuk
Semakin lama kita berteman, semakin banyak yang aku tahu tentang dirimu. Pahit manisnya sudah kuhabiskan sendiri. Tentang siapa-siapa yang pernah mengisi hatimu, siapa yang menemanimu di depan kelas, tersenyum di depan kamera, terlihat bahagia. “Aduh, cantik banget sih mantannya. Putih, suaranya bagus. Lah aku?”. Seketika aku kecewa pada diriku sendiri, kenapa aku harus menyakiti hatiku dengan membanding-bandingkan dua orang yang masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Kenapa aku harus sakit melihat foto lamanya ketika itu memang benar-benar foto lama. “Yaudah, toh sekarang dia udah sama aku. Kalopun mereka berdua masih saling sayang, harusnya waktu itu dia gak bbm aku, harusnya dia balikan sama mantannya. Yakan?”
Aku selalu marah dan meredakannya sendiri dengan hatiku. Aku percaya kamu adalah laki-laki yang baik, kamu akan berpikir dua kali untuk menyakitiku karena aku adalah perempuan, dan kamu juga terlahir dari seorang perempuan.
Aku tidak akan menciptakan sebuah drama. Aku tidak akan membahas ini terlalu berlebihan denganmu. Aku tidak ingin sakit hati, aku juga tidak ingin kamu mengingatnya saat aku membahasnya. Maka kuputuskan untuk menikmati kecemburuanku ini sendiri.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu...
Ketika kalian berdua masih asik bercanda berdua di Path. Ketika seseorang berkata padaku ada Whatsapp darinya di hpmu.
Aku menangis untuk beberapa menit. Kemudian aku kembali melawan sakitku. “Bukan mereka yang salah, mereka pernah saling membahagiakan, dia punya cerita sendiri dengan mantannya sebelum kenal aku. Ngapain aku marah? Toh mereka cuman saling ngejaga silaturahmi. Aku yang salah. Karena aku yang berpersepsi mantan adalah akhir dari segalanya. Gak ada lagi saling sapa. Gak ada lagi kontak yang disimpan. Lepas, benar-benar melepaskan. Hubungan mereka ini cuman pemandangan baru buat aku.”
Oke. Selama itu bukan diniatkan untuk menyakitiku. Selama itu untuk kebaikanmu. Aku tidak akan berlebihan dalam membela hatiku. Selama kalian hanya berteman, aku tak apa-apa. Karena aku dan kamu juga hanya berteman. Aku pun akan menjaga hatimu sebisaku. Karena berada di posisi ini sangat melelahkan. Jadi silahkan berbuat apapun sesukamu, kamu yang tahu untuk siapa hatimu itu. Kamu yang tahu kemana kamu harus pulang dari mainmu.
Ternyata benar, bukan? Kamu tidak pernah kembali dengannya. Dia yang selalu aku khawatirkan akan selalu membuatmu gagal berpindah padaku, tidak pernah kembali ke kehidupanmu.
Aku, sudah tahu hatiku untuk siapa. Semoga kamu pun begitu.
(...)