Aku kira ini ketertarikan, ternyata hanya sebuah
perhatian yang kuterima dengan nyaman. Lalu kuakui itu sebagai harapan. Aku pikir
dia hanya datang kepadaku dan akan terus menetap. Ternyata aku telah keliru.
Ternyata aku hanya terlalu hebat dalam menciptakan segenap ekspektasi dengan hatiku.
Aku kira dia bersedia memperjuangkanku sesiap aku berjuang
untuknya. Ternyata tidak. Dia tidak pernah mau memperjuangkan hal-hal yang
bukan kebahagiaannya. Dan tentu, baginya, aku bukan sebuah kebahagiaan. Yang dia
cari-cari bukanlah aku. Aku bukan sebuah kebutuhan. Aku hanya... sebuah
pertanyaan tanpa jawaban.
Aku selalu menunggu kabarnya, dengan senang hati kujadikan
dia prioritasku. Aku lakukan itu terus-menerus. Kupikir dia akan luluh dan
menjadikanku orang yang juga harus diprioritaskan. Ternyata, dia, menjadikanku
sebagai pilihan saja tak pernah terpikirkan, apalagi menomorsatukanku.
Aku kira dia mulai menjadi sayang karena denganku dia tak
pernah menolak untuk berbincang.
Lalu ketika dia mulai berhenti menghubungiku, kupikir aku telah
melakukan sebuah kesalahan. Nyatanya dia tak pernah menganggapku lebih dari
seorang teman.
Ketika aku mencoba menghilang, aku pikir dia akan
merindukanku sebanyak aku. Ternyata sejak kepergianku, hingga aku datang
kembali, tak pernah sekalipun tersirat olehnya untuk mencariku.
Sekarang aku tahu, kalau dari awal, nama yang dia sematkan,
bayangan yang dia cari-cari, rindu-rindu yang dia teriakkan, bukanlah aku.
Selama ini kuanggap dia rumah, ternyata baginya aku hanyalah
seorang bocah yang berulah. Perasaanku tak pernah dianggap nyata. Ketulusanku
tak pernah dianggap ada.