Ini masih seputar
kamu, yang kutemui Desember lalu. Tentang bagaimana aku menghadapi perasaan
yang tidak seharusnya ada.
Aku pernah merindukanmu. Dia ada dan jelas, serta tak bisa
kusampaikan.
Tiap kali aku rindu, aku pikir aku harus mengatakannya tapi
kemudian aku sadar, aku perempuan. Seberapa seringpun orang-orang berkata bahwa
perempuan juga berhak memulai karena siapapun harus berjuang untuk mendapatkan,
aku tetap menolak fakta itu. Aku menolak rinduku harus kusampaikan. Aku menolak
rinduku ada.
Tiap kali aku rindu, aku menahan diriku, lalu membentak
hatiku. “Rindu siapa? Ha? Siapa yang membuatmu menulis banyak rindu dimana-mana?
Seperti apa orangnya? Kamu bahkan tidak tau dia juga merindukanmu atau bahkan
tidak sama sekali. Berhenti!”
Tiap kali aku rindu, aku menyadarkan diriku lagi, bahwa kamu
adalah seorang laki-laki. Kamu tidak pernah menangis, kamu hanya tertawa dan itu
membuatku jatuh cinta. Lalu bagaimana membuatku berada disampingmu, ketika
tidak ada air mata yang harus kukeringkan? Bagaimana kamu akan menjawab ini
ketika kalimat itu tidak bisa kupertanyakan?
Karena kita hanya sebatas teman, banyak rindu yang akhirnya tidak
bisa aku utarakan. Pertemuan kita tak bisa kuakui sebagai sebuah kencan. Aku
tidak berhak merasa terlalu khawatir dan cemburu dengan sekitarmu. Aku tidak
berhak manja padamu, aku tidak berhak merayakan tanggal-tanggal penting
denganmu, aku tidak berhak melakukan dan menerima hal-hal manis seperti
kejutan, tiup lilin, kado kecil, bunga, cokelat dan sebagainya, aku tidak
berhak marah atas salahmu, aku tidak berhak menjadi perempuan yang selalu
benar, seperti umumnya sebuah pasangan. Karena kita, hanya sebatas teman.
Pun hujan hanyalah hujan, peristiwa jatuhnya butir-butir air
dari langit. Tidak berhak kusangkut-pautkan dengan kenangan sekalipun kita
berdua pernah terjebak di dalamnya. Pertemuan hanyalah pertemuan, aku dan kamu
disana, duduk berdua seperti terikat dalam sebuah hubungan, tertawa dan
membicarakan hari-hari, pengalaman ini dan itu, tapi lagi-lagi, tidak berhak
kuklaim sebagai kebiasaan yang harus kita lakukan setiap kali aku rindu.
Aku tidak bisa berkata “Kamu gak kangen aku? Aku kangen”,
sekalipun kamu bisa kutelepon, kamu bisa kutemui dengan alasan selain rindu. Tapi
aku tidak mampu, karena kita berdua hanya sebatas teman. Tidak pernah lebih
dari itu.
Tapi setidaknya aku memerlukannya, aku perlu kau jadikan
temanmu. Aku perlu kau anggap ada, sekalipun itu hanya berjudul teman.