Selesai pada Satu Malam
November 29, 2018
[8:37 PM, 11/29/2018] Ariqy Raihan:
Berbeda.
Itu kata yang tancap di pikiranku setelah aku melepaskan segalanya untukmu—kamu memilih jalan yang tak ada aku di dalamnya.
[9:16 PM, 11/29/2018] Nawang N. Titisari:
Janji tak pernah bisa membayar sebuah makna. Selain memang kamu tak pernah menjadikanku satu-satunya, di depanmu aku merasa sedang berbicara pada sebuah ketidakmungkinan. Tawa denganmu seperti takkan pernah bisa kubawa ke masa depan.
Apa guna sebuah kalimat ikrar untuk membersamaiku beberapa tahun lagi? Apa bedanya dengan meninggalkanku saat ini?
[9:18 PM, 11/29/2018] Ariqy Raihan:
Dulu, aku pernah mencintai satu orang—kehangatan yang kini telah beku bersama malam abadi. Bersamanya, tiada lagi pagi yang tersambut dengan senyuman. Bersamamu, aku selalu merasa bahwa pagiku akan datang dengan cara yang berbeda. Bahwa hatiku kian menemukan bahagianya lagi saat kamu ada.
[9:25 PM, 11/29/2018] Nawang N. Titisari:
Sialnya, ketika aku sudah mulai bosan dengan bujuk rayumu, ratu di sebelahmu tetap bukan aku.
[9:28 PM, 11/29/2018] Ariqy Raihan:
Kata siapa? Waktu belum bicara tentang masa depan kita—meski aku menginginkannya. Jangan ragu terhadap rencana—kita bukan sepasang manusia yang ingin menjelma angin; tak tahu ke mana menuju. Melepaskan tidak pernah mudah, tidak dengannya; pun kamu.
[9:34 PM, 11/29/2018] Nawang N. Titisari:
Mengapa kamu harus bersikeras mendapatkanku kalau jauh di dasar dada masih enggan melepasnya? Bukankah hatimu diciptakan hanya untuk satu buah nama?
[9:37 PM, 11/29/2018] Ariqy Raihan:
Hatiku diciptakan untuk satu nama. Kamu. Atau mungkin dia. Entahlah—tapi bila harus memilih; aku akan meninggalkan segalanya untuk memilikimu. Langkah kakimu yang menjauh menjadi alasan mengapa aku belum bisa melepaskannya; aku tidak ingin ketika rasa ini dengannya berakhir, pun juga denganmu.
Kembalilah, lalu aku akan mencintaimu tanpa lelah. Lalu, taklagi ada kata "kita" bersamanya.
[9:45 PM, 11/29/2018] Nawang N. Titisari:
Kembali kalau hanya untuk melihatmu meninggalkan dia, lebih baik aku saja yang menamatkan "kita". Karena bukan tak mungkin, suatu saat kau akan meminta seseorang lain untuk datang dan mematikan aku dari cerita. Aku ingin bebas mencintai dan dicintai. Aku ingin bebas menemui dan ditemui. Tanpa khawatir akan ada hati yang mungkin tersakiti. Aku ingin hidup untuk diriku sendiri. Sepertinya kalau memang kebahagiaanku tidak terletak di genggamanmu, aku lebih baik pergi.
Cintai aku sebebas yang kamu mau; jangan batasi dengan segala ketakutan yang singgah di dadamu. Kebahagianku memang taklagi di tangan ini—sebaliknya telah kutanamkan di jantung puisiku; yang di dalamnya kamu hidup abadi—meski suatu waktu Semesta akan merenggutmu dariku.
Di dalam ingatan, kamu tidak pernah mati. Kalau sudah begitu buat apa kamu menyudahi?
Di sini, aku berdiri di hadapan; memastikan—apakah kamu yakin denganku atau tidak.
[10:14 PM, 11/29/2018] Nawang N. Titisari:
Berhentilah bertanya, karena perasaanku telah menemui tanda titiknya. Berhentilah sekarang juga. Sebelum semua semakin dalam, sebelum di tanganmu hanya ada penyesalan untuk kaugenggam.
Tetap bersamanya atau berjalan sendiri, pilih saja yang menurutmu masih masuk di akal dan nurani. Jangan menyakiti dirimu sendiri dengan menanti. Aku tak berjanji akan kembali. Sudahlah, kita akhiri saja semua ini.
Terima kasih untuk perkenalan kita yang singkat. Aku menyesal perasaan kita tak bisa selamat.
[10:20 PM, 11/29/2018] Ariqy Raihan:
Aku tidak perlu berhenti, Nona. Ke mana pun kamu hilang, hujan selalu menyampaikan kabarmu—ke sanalah langkah ini menujumu.
Sejauh apa pun; seberat apa pun. Kamu hanya perlu menjadi yakin, setelahnya biar aku yang mencintaimu dengan utuh—dengan penuh.
Bila memang kamu memilih pergi, percayalah, takdir akan menuntunmu kembali; aku masih akan tetap di sini, menunggu waktu itu tiba.
Menunggumu sadar bahwa sekeras apa pun kamu berusaha pergi, Tuhan telah menuliskanmu untuk sampai di satu muara—denganku di sana.
Pergilah, Nona. Lalu kita akan bertukar sapa lagi; aku masih akan mencintaimu untuk waktu yang sangat lama.
Sebuah kolaborasi dari retorika kepergian.
24 komentar
Mirip kisah kawanku..
ReplyDeleteWhy :'(
ReplyDeleteSaya menangis membacanya. Entahlah malamku hari ini sangat gelap dan berantakan.
ReplyDeleteSerumit itukah perasaan, apakah pergi adalah jalan terbaik ?..tulisan yang bagus kak jadi sedih
ReplyDeleteSelalu menyentuh:"
ReplyDeleteKisah semalammu membuatku pagi ini mendung, hampir saja hujan.
ReplyDeleteMirip kisahku...
ReplyDeleteKenapa deep sekali
ReplyDeleteDeep ya ini 😭
ReplyDeleteaku diposisi cowoknya😢
kenapa kisah kita sama :')
ReplyDeleteaku di posisi si mbaknya :(
ReplyDeleteNyesss banget sih ini
ReplyDeletedeep :"
ReplyDeleteJangan berhenti berkarya
ReplyDeleteSamaan:(
ReplyDeletesy lagi di team mbak nya nih :((( bisa tolongin gaaaa
ReplyDeleteapaan sih tulisan gak jelas. kayak gini penulis nih? malu-maluin
ReplyDeleteMenusuk :^)))
ReplyDeleteMirip :) dengan dia yang masih ada di dalam hati.
ReplyDeleteMeski hanya secuil perasaan yang tak kunjung mati :)
Kisahku:(((
ReplyDeleteKisahku:(((
ReplyDeleteKisahku:(((
ReplyDeleteIni sedang terjadi padaku.
ReplyDeleteKa naw, izin aku record ya☹️. Aku post di ig nnti aku tag ka naw.
ReplyDelete