Pengingat Diri
June 13, 2018
Malam ini aku mendengar kabar baik dari seorang teman, saaangat
baik. Saking baiknya, aku hampir menangis. Berpikir betapa beruntungnya dia,
diberi jalan yang (terlihat) mulus oleh Tuhan. Betapa bangga orang tuanya,
memiliki anak perempuan yang luar biasa. Tentu saja, aku tahu dia tak kan
mendapatkannya dengan menengadahkan telapak tangan begitu saja. Butuh banyak kekuatan
dan proses pembelajaran sebelum sampai pada pencapaiannya.
Kami berteman hampir enam tahun, tapi baru bersahabat dan
mulai sering berdiskusi baru sejak dua tahun terakhir. Tapi meski begitu, aku
tahu betul kalau dia seorang pekerja keras. Di sekolah dulu, dia aktif di semua
mata pelajaran, terutama Bahasa Indonesia. Pidato, membaca puisi, menulis esai,
adalah hal yang biasa. Itulah kenapa, sekarang dia sedang mengerjakan skripsi di program studi Pendidikan
Bahasa Indonesia. Dulu, semasa sekolah, dia hampir selalu juara satu. Kalau
tidak juara satu, juara dua. Tak pernah merasakan bagaimana orang tua marah karena kepintarannya
ada di urutan belasan atau puluhan. Beberapa kali juga mendapatkan juara
paralel. Artinya, di antara siswa-siswa yang juara satu, dia yang nomor satu. Bagaimana tak bangga?
Perempuan ini, sangat mencintai dunia teater beserta
panggungnya. Dari SD sampai di Perguruan Tinggi, dia tetap menggeluti akting. Mungkin
karena itulah, dia menjadi pandai sekali mengganti air wajahnya menjadi tenang
dan tak ada apa-apa, meski sebenarnya kekalutan sedang menggerogoti senyumnya.
Aku tak tahu kalau dunia punya seseorang yang seperti ini,
apalagi, dia perempuan. Sekuat itu dia mengartikan hidup dan terus berjalan menikmatinya
sebagai sebuah tetapan dari Tuhan. Aku tak bilang dia tak pernah menangis. Tentu
saja dia juga sama sepertiku dan remaja perempuan pada umumnya—menangis dan terluka. Beberapa
kali dia menangis di depanku saat bercerita. Aku? Jelas ikut terluka. Ternyata,
seorang perempuan yang terlihat tegar, tak pernah benar-benar tegar. Kita tak
pernah tahu bagaimana isi hati seseorang kalau dia tak bercerita. Kalaupun
bercerita, kita tak tahu apakah itu benar-benar kenyataannya, atau dia hanya
bicara dusta.
Tadi, setelah dia bercerita tentang kabar baiknya, aku
terbawa suasana. Rasanya sesak, ingin menangis dan berteriak. Tapi entah soal
apa. Apakah aku terlalu bahagia mendengar temanku sedang berbangga? Ataukah aku
kembali menilai diriku tak pernah seberuntung dirinya?
Di atas motor, aku mengatakan ini, “selamat, ya! Aku
seneng dengernya. Aku seneng hidupmu lancar. Hidupku loh, kayak gak pernah lancar. Dari tahun lalu aku nyari sesuatu yang bener-bener aku butuhkan, sampai
sekarang belum dapet juga”.
Dia menjawab, “masalah orang itu beda-beda”.
Aku merasa tenang dan tertampar dalam waktu yang sama.
Memang benar. Hidup seseorang itu seperti sungai.
Panjang, dan terus mengalir. Setiap sungai memiliki rintangan yang
berbeda-beda. Ada yang berbatu, ada yang alurnya terlalu deras hingga sulit
menyeimbangkan, ada yang terlihat dangkal dan memalukan, ada yang bahkan
terlalu dalam dan menyusahkan. Padahal, pada akhirnya, semua tetap akan
bermuara pada sebuah kebahagiaan; laut yang tenang.
Aku selalu suka berdiskusi soal kehidupan. Saling belajar untuk
memperbaiki, saling mengingatkan kalau kita tak sendiri, pun saling menjaga
dari hal-hal yang menyakiti.
Aku bersyukur diberi masalah oleh Tuhan. Karena
aku akhirnya bisa berbicara dan mendengarkan.
Sejatinya, porsi tawa dan air mata setiap manusia itu sudah
ditetapkan, arah hidup kita pun juga sudah tertulis bahkan jauh sebelum kita
dilahirkan. Sejatinya, aku tahu kalau rezeki bukan hanya soal materi dunia. Selama
ini aku dilimpahkan hal-hal membahagiakan, tapi dengan bodohnya masih saja
terkadang berprasangka buruk dengan Tuhan. Aku melihat kesempurnaan di hidup
seseorang, sampai lupa memeriksa kembali anugrah yang Tuhan berikan. Aku juga
tahu, kalau patah hati bukan hanya soal ‘melihat kehidupan orang lain lebih
bahagia’. Hidup ini jauh lebih luas dari hanya sekadar iri dan menginginkan apa
yang tak bisa kita genggam.
Porsinya sama. Seimbang.
Letaknya saja yang berbeda. Melihat ke atas hanya diperuntukkan untuk memotivasi,
bukan untuk merasa tak percaya diri apalagi rendah diri. Alasan Tuhan, hanya
Tuhan yang tahu. Kita, jalan begini saja. Berusaha sekuat-kuatnya, berdoa
segigih-gigihnya. Tuhan tak kan menjadikan langkah kita sia-sia.
Semoga saja.
Satu lagi, terima kasih, C, mau selalu mendengar dan
bertukar isi kepala. Mau saling menguatkan dan menemani. Mau mengajari tanpa
menggurui. Mau menjaga tanpa memaksa. Semoga masih banyak kabar-kabar baik dan
buruk yang akan kita bagi, berdua.
temanmu.
1 komentar
Percayalah, laut itu tak pernah tenang. Justru dilautlah semuanya akan benar2 dimulai :g
ReplyDelete