Kecil Mendewasa

November 24, 2019

Dulu aku pernah ditanya oleh seseorang. Apa ukuran seseorang bisa dikatakan dewasa?
Aku jawab, kalau usianya sudah tua. Orang-orang paruh baya itu kan dewasa namanya, kataku. Lalu aku tumbuh, berkembang, bertemu banyak orang, dan kepala, dan sudut pandang, dan ilmu, dan pemikiran, dan pemecahan masalah.
Dilempar lagi pertanyaan itu oleh seseorang yang lain. Aku lalu menjawab dengan percaya diri, saat seseorang sudah punya cukup pengalaman. 
Lalu aku berkelana. Masih, menghadapi beberapa masalah baru, bertemu dengan kebiasaan-kebiasaan baru, usia-usia baru, karakter, dan semuanya masih berbeda, dan selalu ada yang baru.

Ditanyakan lagi padaku pertanyaan itu.
Aku jawab entah. Terlalu luas, pikirku. 

Setahun belakangan, setelah aku dilamar, beberapa orang bilang aku masih kecil tapi sudah dewasa. Kemudian, di sana, ada seseorang yang lebih tua dariku, tapi banyak orang menyebutnya, dia masih seperti anak kecil.

Aku, aku tidak tau, kapan waktunya dia belajar bertahan hidup sendiri, kapan dia masih bisa minta tolong dibantu orang lain. Termasuk menanggung masalahnya, termasuk menyeretnya keluar dari sana, termasuk membantu membenarkan posisinya, termasuk menghidupi kembali perapiannya. 

Mungkin dia masih tidak berani melihat dirinya sendiri, dia masih ingin menyalahkan orang lain. Melihat, dan iri dengan orang lain. Menganggap diri sendiri memang anak kecil yang masih harus dimengerti.
Padahal, sudah bukan. Sudah bukan sejak dia tau, seharusnya dia tidak begitu.
Sudah bukan sejak kali pertama dia bisa mengoreksi dan memberi saran pada orang lain. Sudah bukan. Dia sudah bukan anak kecil. Kenapa harus minta selalu dipeluk dan dibahagiakan, dijaga dan dibenarkan, dimaklumi dan dituntun, dimengerti dan diberi bagian teringan? Hah!

Mungkin semua orang menganggapnya anak kecil karena memang dia belum mau beranjak dari kasur kecilnya. Dengan mainan-mainan di atas kepalanya, dengan makanan dan tawa yang datang dari mana saja, dengan kelembutan usapan air mata, dengan semua omong kosong yang tidak dia mengerti.

Atau mungkin, justru aku yang masih seperti anak kecil. Sudah mengerti ini waktunya melangkah, tapi masih menghabiskan waktu di sini, jalan di tempat untuk terus memperhatikan dia, yang diberi waktu lebih lama untuk merasa bebas. Untuk tidak terikat dengan kewajiban yang berat. Untuk masih bisa berkompromi dengan kesalahan. Untuk masih punya banyak kasih sayang. 

Mungkin ini bukan tentang kenapa dia belum dewasa. Ini tentang kenapa aku tetap membahas dan menyalahkan dia karena dia masih bisa seperti anak kecil, sementara aku tidak.

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Nawang, tulisannya yang ini bagusss.

    Otewe pelaminan Nawang ternyata. Semoga barokah ya dan terus produktif menulis.

    ReplyDelete