Friendzone

September 23, 2017

Friendzone. Saat dia menganggapmu teman, padahal kamu berharap lebih.

“Kak Naw, bikin tulisan tentang friendzone dong!”
Okay, Let’s do this!

Semoga nggak akan terhapus lagi karena tulisan yang dulu terpaksa dihapus, ada yang bacanya cemburu gitu deh, padahal ini cuman pengalaman masa lalu, cuman bahan ajar untuk masa depan. Biar lain kali nggak perlu dulu berharap lebih, biar lain kali bisa menahan diri buat nggak keburu baper.

Baiklah. Waktu SMA dulu, aku ada di posisi ini. Kenapa ceritanya dulu banget pas SMA? Karena setelah kejadian itu, perasaanku nggak pernah lagi masuk friendzone. Nggak pernah lagi. Selalu terbalas. Cie.

Tahun 2011, aku masuk di SMA yang dulu Ayah aku juga sekolah di sana. Belum apa-apa, aku sudah membuat prestasi: mendapatkan seorang laki-laki untuk kuincar di kelas. Karena waktu itu dia terlihat yang paling “bener” tampilannya. Yang lain, ya gitu deh.
Entah gimana awal kenalnya, ingatanku langsung loncat saat tiba-tiba aku dan anak itu ­bertukar pesan alias SMS-an. Waktu itu masih zaman pake SMS, chatting cuman adanya di Facebook. Awal ketemu aja sudah bikin kesemsem, bisa di SMS dia tiap hari apalagi. Demi panjangnya sebuah percakapan, aku rela mikir keras untuk bahasan selanjutnya. Padahal sekarang enggak. Kalau si cowok nggak punya bahasan, biar dia yang mikir, aku terima beres aja. #SorryNoSorry nih. Ehehe. Ehe :)

Atas percakapan yang menghabiskan pulsa lumayan itu, aku merasa ada kemajuan, dia satu ekstrakurikuler sama aku. Ahay! Makin sering nih bos, ketemunya! :p
Selama kenal dengan anak itu, nggak jarang akhirnya aku ke kantin bareng, berangkat ekstra Pramuka bareng, duduk sebelahan, ketawa bareng. Sampai ada saatnya mulai ada satu temen yang peka. Dia tahu kalau aku naksir sama anak itu. Dih! Ko bisa tau sih? Bahaya nih kalo dia bocor. Ancaman terdeteksi!
Tapi aku teteup kaleum. Siapa tahu anak itu juga sebenarnya naksir aku. Semakin hari, semakin aku pepet dia. Aku belikan dia es krim, aku belikan dia coklat. Tapi bukan yang tiba-tiba datang ke hadapannya langsung ngasih, bukan. Aku beli dua, aku pura-pura makan di depannya sampai dia lihat aku, saat matanya mulai tertuju dengan coklat dan eskrim dalam genggamanku, aku menawarinya.
“Mau?”
Kalau dia mau, aku langsung senyum-senyum kegirangan dalam hati, balik badan, terus... Asik! Sogokan mayan juga nih, buat bahasan nanti di rumah kalo dia bilang makasih.
Iya, aku selicik itu, iya.
Tapi karena dia nggak selalu mau, karena ada waktuya juga dia nolak. Maka aku siap untuk mengantisipasi. Di depannya aku sok bilang “Ya udah! Aku makan sendiri dua-duanya”, tapi dalam hati, yaaaah, padahal beli udah dua. Yaaah, gagal. Yaaah rugi. Yaaah.

Dulu, nggak ada alasan buat nggak suka dengan anak itu. Manisnya dimana-mana. Senyumnya manis, tingkah lakunya manis, cara jalannya manis, cara nolehnya manis. Banyak manisnya, seolah bisa untuk cadangan tahun-tahun ke depan saat pelajaran sekolah mulai terasa pahit.
Nggak memungkiri juga, aku mulai berani sayang dengan dia. Aku mau terus lihat senyumnya, aku mau terus dengar suaranya, aku mau terus bicara sama dia, aku mau dia selalu ada untuk aku.
Semakin lama juga aku merasa kami semakin dekat. Jalan berdua itu bukan sekali dua kali lagi. sampai naik kelas dan naik kelas lagi.
Pernah waktu itu, saat kami jalan berdua, kami bertemu adik kelas yang kebetulan kami bertiga saling kenal, dan dia menyebarkan gosip yang jelas hoax tapi indah: katanya, Kak Nawang dan Kak “itu” pacaran. Astaga bahagianya bukan main. Tapi yang membuat janggal, dia menanggapi hal itu seperti itu memang benar-benar bahan candaan, padahal aku nggak.

Dari situ, aku mulai ragu dengan perasaannya, aku mulai ragu dengan semua tawa, kebaikan, dan perhatiannya.

Ternyata benar, pada suatu waktu, saat seorang teman (yang di awal tadi menyadari perasaanku) mulai membahasnya dengan anak itu, dia mengatakan hal-hal yang tidak pernah aku inginkan ada.

“Hahaha. Aku ini cuman temen sama Nawang. Aku sering jalan bareng dia karena dia diajak kemana-mana nemenin aku mesti mau”

Deg.

Belum pernah aku merasakan yang seperti ini.
Dia cuman menganggap aku sebagai teman ketika aku telah benar-benar menyayanginya.

Ternyata, yah... Beberapa bulan setelah pernyataan itu, saat kami kembali jalan berdua, dia bercerita tentang seorang perempuan yang sedang dia dekati.
Oh, jadi bener. Kamu dari awal cuman ngeliat aku sebagai temen, nggak pernah ngeliat aku sebagai seorang perempuan.

Setelah itu aku putuskan untuk tidak jatuh lebih dalam lagi.




Tamat. Yey :p

  • Share:

You Might Also Like

7 komentar

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Rasanya nga enak banget berada disuasana ke gituh, dima kita udah berharap lebih tiba tiba dia hanya anggap kita ngga seperti apa yang kita mau. Disitu aku ngerasa baper parah banget sampe aku berusaha buat hindari dia dan ngga ketemu dia lagi.

    ReplyDelete
  3. Uda ngerasain kak. Bedanya saya Deket dia dari SMP sampe SMK sekolahnya seberangan apa* kita saling butuhkan ini itu 3taunbrasa pacar tp status temen 😂 tapi gapernah fix bner* jadian. Lalu gara* mslh dia pindah sekolah dan....
    Saya kalah sama yg cuman Deket dia berapa bulan langsung dia pacarin 😂. Sedangkan yg bertahan taun Deket. Status temennya diawetin 😂

    ReplyDelete
  4. Friendzone mah endingnya selalu sakit

    ReplyDelete
  5. kuuu tebakkk deh, kalo gak salah inisialnya "W" yaa kak? Wkwkw

    ReplyDelete